Lebih dari 1.900 penerbangan antara Tiongkok daratan dan Jepang telah dibatalkan pada bulan Desember, mewakili lebih dari 40% layanan terjadwal. Penurunan drastis jumlah perjalanan udara ini menandakan peningkatan dampak ekonomi yang signifikan akibat memburuknya hubungan politik antara kedua negara.

Pembatalan Penerbangan dan Tanggapan Maskapai

Maskapai-maskapai besar Tiongkok – termasuk Air China, China Eastern, China Southern, Hainan Airlines, dan Shenzhen Airlines – secara drastis mengurangi atau menghapuskan penerbangan ke Jepang. Agen perjalanan kini memproses pengembalian uang dan pembebasan biaya untuk perjalanan yang dipesan sebelumnya hingga akhir tahun. Jumlah penerbangan harian, yang mencapai lebih dari 200 pada bulan Oktober, diperkirakan akan turun di bawah 100, menurut Subramania Bhatt, CEO China Trading Desk.

Ini bukanlah penyesuaian kecil; ini adalah pengurangan kapasitas sebesar 40-45%, yang merupakan salah satu konsekuensi paling nyata dari pembekuan diplomatik. Skala pembatalan ini menunjukkan dengan jelas bahwa permasalahan ini tidak hanya sekedar aksi protes semata, namun juga telah memasuki ranah gangguan ekonomi yang dapat diukur.

Pemicunya: Retorika Selat Taiwan

Penyebab langsung penurunan jumlah perjalanan ini berasal dari pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi baru-baru ini, yang mengangkat kemungkinan intervensi militer Jepang jika terjadi konflik di Taiwan. Beijing menanggapi dengan keras saran ini dan menafsirkannya sebagai campur tangan dalam kebijakan regionalnya.

“Sikap Jepang terhadap Taiwan bukanlah suatu kejutan, namun pernyataan eksplisit mengenai pengerahan militer telah melewati batas bagi Beijing,” kata analis geopolitik Li Wei.

Hal ini merupakan bagian dari pola yang lebih luas: Tiongkok secara konsisten memandang dukungan apa pun terhadap kemerdekaan Taiwan sebagai tantangan langsung terhadap kedaulatan Taiwan. Pembatasan perjalanan kemungkinan besar dimaksudkan untuk menandakan ketidakpuasan sekaligus menghindari konfrontasi militer langsung.

Implikasi yang Lebih Luas

Pembatalan penerbangan menunjukkan bagaimana perselisihan politik dapat dengan cepat menimbulkan konsekuensi ekonomi. Bagi Jepang, hilangnya pariwisata Tiongkok merupakan pukulan besar, terutama karena perekonomian negara tersebut sangat bergantung pada wisatawan yang datang ke negara tersebut. Bagi Tiongkok, gangguan ini menunjukkan kesediaan untuk mempersenjatai tekanan ekonomi demi mencapai tujuan geopolitiknya.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampak jangka panjang terhadap perdagangan bilateral, investasi, dan stabilitas regional. Jika ketegangan terus meningkat, langkah-langkah ekonomi lebih lanjut – termasuk pembatasan bentuk perdagangan lainnya – dapat menyusul.

Pergeseran mendadak dalam pola perjalanan menegaskan bahwa hubungan Tiongkok-Jepang kini berjalan di bawah paradigma baru yang lebih bermusuhan. Itu